TANGGUNG JAWAB KEPEMIMPINAN
TANGGUNG JAWAB KEPEMIMPINAN
(HADITS I)
Dalam rangka melengkapi tugas perkuliahan mata kuliah Hadits I dan pembelajarannya
Dosen
Dr. H. Maslani, M.Ag
Disusun oleh kelompok 7
1152020093 Iis Istiqomah
1152020104 Joni Iskandar
1152020108 Kristin Wiranata
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2016
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. yang mana karena limpahan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu baik dari segi apapun, sehingga makalah ini dapat tersusun. Makalah ini bertujuan untuk memenuhi syarat nilai mata kuliah Hadits I dan pembelajarannya. Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, baik menyangkut isi maupun penulisan. Kekurangan-kekurangan tersebut terutama disebabkan karenakan keterbatasan pengetahuan serta kemampuan penulis. Hanya dengan bantuan dari berbagai pihak untuk memberikan kritik dan saran yang membangun maka kekurangan-kekurangan tersebut dapat berubah menjadi lebih baik. Dengan tersusunnya makalah ini penulis berharap kita dapat memahami bagaimana tanggung jawab kepemimpinan, agar saat menjadi pemimpin (dalam cakupan luas), kita dapat memahami apa tugas seorang pemimpin yang patut dipertanggungjawabkan, sehingga kita dapat menjadi pemimpin yang amanah.
Bandung, 04 Mei 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
Latar Belakang Masalah 1
Rumusan Masalah 1
BAB II PEMBAHASAN 3
Pengertian Tanggung Jawab Kepemimpinan 3
Setiap Manusia adalah pemimpin 5
Menjadi Pemimpin yang Bertanggung Jawab 8
Batas Ketaatan kepada Pemimpin 17
Kriteria Pemimpin 19
BAB III PENUTUP 26
Simpulan 26
Saran 27
DAFTAR PUSTAKA 28
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Setiap manusia pada hakikatnya adalah pemimpin, dan setiap manusia kelak akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya tersebut di hadapan Allah swt. Adapun pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas segala perbuatan dan kebijakannya. Baik dalam skala kecil maupun besar, seorang pemimpin haruslah bertanggung jawab terhadap amanah yang diembannya.
Pemimpin rakyat ialah Ulil Amri, yang mana kita wajib taati perintahnya selama ia tidak berbuat dzalim. Namun, jika kita lihat pada realita kehidupan, tidak semua pemimpin bersikap amanah, di samping itu kita akan menemui beberapa pemimpin yang dzalim dan tidak bertanggung jawab. Hal ini tentu mengakibatkan timbulnya berbagai permasalahan dalam tatanan pemerintahan. Jika pemerintahannya kacau, maka bagaimana dengan keadaan rakyatnya?.
Sebagaimana kita ketahui, di dalam Al-Qur’an Allah swt. menciptakan manusia ke dunia ini ialah untuk menjadi khalifah di muka bumi. Al-Qur’an mencakup berbagai hukum yang dapat dijadikan pedoman bagi manusia, salah satunya dalam hal kepemimpinan. Salah satu contoh bab kepemimpinan yang termaktub dalam al-Qur’an adalah kriteria seorang pemimpin, bahwa pemimpin haruslah beragama islam (bukan Yahudi ataupun Nasrani). Selain di dalam al-Quran, Rasulullah pun mengajarkan kepemimpinan yang baik dan benar. Kepemimpinan yang patut di contoh ini dapat kita temui di dalam hadits-hadits Rasulullah saw.
Beranjak dari kesadaran penulis, bahwa perlunya memahami kepemimpinan yang benar menurut islam yang sesuai dengan al-Qur’an dan hadits. Karena itulah penulis mengangkat suatu kajian mengenai konteks tanggung jawab kepemimpinan.
Rumusan Masalah
Setelah menelusuri beberapa sumber buku dan artikel yang terkait dengan tanggung jawab kepemimpinan, penulis menarik beberapa rumusan masalah, diantaraya.
Apa yang dimaksud dengan tanggung jawab kepemimpinan?
Mengapa tanggung jawab kepemimpinan ini penting untuk dibahas?
Bagaimana karakteristik pemimpin yang bertanggung jawab?
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Tanggung Jawab kepemimpinan
Pengertian tanggung jawab menurut KBBI (kamus besar bahasa Indonesia) ialah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (dalam artian jika terjadi sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dsb). Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Tanggung jawab bersifat kodrati, artinya sudah menjadi bagian kehidupan manusia, bahwa setiap manusia pasti dibebani tanggung jawab.
Secara etimologi kepemimpinan (imamah) berasal dari kata اَمَّ - يَؤُمُّ - اِمَامًا -اِمَامَةً (memimpin, pemimpin, dan kepemimpinan). Secara terminologi imamah sebagaimana dikemukakan al-Mawardi “Imamah ialah suatu kedudukan atau jabatan yang diadakan untuk mengganti tugas kenabian dalam memelihara agama dan mengendalikan dunia”. Adapun dalam konteks ilmu pemerintahan arti kepemimpinan secara etimologi dapat diartikan sebagai berikut:
Berasal dari kata dasar “pimpin” (dalam Bahasa Inggris lead) berarti bimbing atau tuntun, dengan begitu di dalamnya ada dua pihak yaitu yang dipimpin (umat) dan yang memimpin (imam).
Setelah ditambah awalan “pe” menjadi “pemimpin” berarti orang yang memengaruhi pihak lain melalui proses kewibawaan komunikasi sehingga orang lain tersebut bertindak sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu.
Apabila di tambah akhiran “an” menjadi “pimpinan” artinya orang yang mengepalai. Antara pemimpin dengan pimpinan dapat dibedakan, yaitu pimpinan (kepala) cenderung lebih otokratis, sedangkan pemimpin (ketua) cenderung lebih demokratis.
Setelah dilengkapi dengan awalan “ke” menjadi “kepemimpinan” berarti kemampuan dan kepribadian seseorang dalam memengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga yang bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok.
Adapun, pengertian kepemimpinan dalam terminologi, penulis kutipkan sebagai berikut.
C.N. Cooley (1902)
Pemimpin itu selalu merupakan titik pusat dari suatu kecenderungan dan pada kesempatan lain, semua gerakan sosial kalau diamati secara cermat akan ditemukan kecenderungan yang memiliki titik pusat.
Ordway Tead (1929)
Kepemimpinan sebagai perpaduan perangai yang memungkinkan seseorang mempu mendorong pihak lain menyelesaikan tugasnya.
G.U. Cleeton dan C.W. Mason (1934)
Kepemimpinan menujukkan kemampuan memengaruhi orang-orang dan mencapai hasil melalui imbauan emosional dan ini lebih baik dibandingkan dengan melalui penggunaan kekuasaan.
P. Pigors (1935)
Kepemimpinan adalah suatu proses saling mendorong melalui keberhasilan interaksi dari perbedaan-perbedaan individu, mengontrol daya manusia dalam mengejar tujuan bersama.
Setelah diketahui pengertian kata “tanggung jawab” dan “kepemimpinan” berdasarkan paparan diatas, penulis mengambil kesimpulan bahwa, tanggung jawab kepemimpinan adalah sikap dari suatu imam atau pemimpin yang menyadari berbagai tugas dan amanah yang diembannya, sehingga ia melaksanakan berbagai kewajiban serta berorientasi menjaga dan memberikan kemaslahatan umat di dunia dan di akhirat.
Setiap Manusia Adalah pemimpin
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ﴿ رواه مسلم ﴾
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Laits. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh telah menceritakan kepada kami Laits dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: “Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang memimpin manusia akan bertanggung jawab atas rakyatnya, seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, dan dia bertanggung jawab atas mereka semua, seorang wanita juga pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia bertanggung jawab atas mereka semua, seorang budak adalah pemimpin atas harta tuannya, dan dia bertanggung jawab atas harta tersebut. Setiap kalian adalah pemimpin dan akan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (H.R. Muslim No.3408)
Tanggung jawab kepemimpinan ialah suatu hal yang penting dan perlu dibahas, karena setiap dari kita merupakan pemimpin dan perlulah memahami konteks kepemimpinan yang sesuai dengan posisinya. Dalam Hadits di atas sangat jelas menerangkan tentang kepemimpinan setiap orang muslim dalam berbagai posisi dan tingkatannya. Mulai dari tingkatan pemimpin rakyat sampai tingkatan penggembala, bahkan sebenarnya tersirat sampai tingkatan memimpin diri sendiri. Semua orang pasti memiliki tanggung jawab dan akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. atas kepemimpinanya kelak di akhirat.
Dengan demikian, setiap orang Islam harus berusaha untuk menjadi pemimpin yang paling baik dan segala tindakanya tanpa didasari kepentingan pribadi atau kepentingan golongan tertentu. Akan tetapi, pemimpin yang adil dan betul-betul memperhatikan dan berbuat sesuai dengan aspirasi rakyatnya. Sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT. Dalam Al-qur’an
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ ﴿ النحل: ٩٠ ﴾
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan (Q.S. an-Nahl: 90)
وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿ الحجرات: ٩ ﴾
Berlaku adillah kamu. Sungguh Allah mencintai orang yang adil. (Q.S. Al-Hujurat: 9)
Ayat di atas jelas sekali memerintahkan untuk berbuat adil kepada setiap pemimpin apa saja dan di mana saja. Seorang raja misalnya, harus berusaha berbuat seadil-adilnya dan sebijaksana mungkin sesuai dengan perintah Allah SWT. Dalam memimpin rakyatnya sehingga rakyatnya hidup sejahtera.
Sebaliknya, apabila raja berlaku semena-mena, selalu bertindak sesuai kemauannya, bukan didasarkan peraturan yang ada, rakyat akan sengsara. Dengan kata lain, pemimpin harus menciptakan keharmonisan antara dirinya dengan rakyatanya sehingga ada timbal balik di antara keduanya. Itulah pemimpin paling baik sebagaimana sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi:
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ يَزِيدَ بْنِ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ عَنْ رُزَيْقِ بْنِ حَيَّانَ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ قَرَظَةَ عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ ﴿ رواه مسلم ﴾
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al Handlali telah mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami Al Auza'i dari Yazid bin Yazid bin Jabir dari Ruzaiq bin Hayyan dari Muslim bin Qaradlah dari 'Auf bin Malik dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendo'akan kalian dan kalian mendo'akan mereka. Dan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah mereka yang membenci kalian dan kalian membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian mengutuk mereka.” Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita memerangi mereka?” maka beliau bersabda: “Tidak, selagi mereka mendirikan shalat bersama kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang tidak baik maka bencilah tindakannya, dan janganlah kalian melepas dari ketaatan kepada mereka.” (H.R. Muslim No. 3447)
Begitu pula suami, isteri, pengembala, dan siapa saja yang memiliki tanggung jawab dalam memimpin harus berusaha untuk berlaku adil dalam kepemimpinannya sehingga ia mendapat kemuliaan sebagaimana janji Allah SWT. yang disebutkan dalam salah satu hadits Nabi Muhammad SAW. Bahwa para pemimpin seperti itu (yang adil) termasuk salah satu golongan dari tujuh golongan yang akan memperoleh naungan, kecuali Arasy di hari kiamat, yakni pada hari yang tidak ada naungan kecuali atas izin Allah SWT.
Dengan demikian, kebahagiaan dan pahala yang besar menunggu para pemimpin yang adil, baik di dunia dan terutama kelak di akhirat, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرٍو يَعْنِي ابْنَ دِينَارٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَوْسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ ابْنُ نُمَيْرٍ وَأَبُو بَكْرٍ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي حَدِيثِ زُهَيْرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا ﴿ رواه مسلم ﴾
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb dan Ibnu Numair mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan bin 'Uyainah dari 'Amru -yaitu Ibnu Dinar- dari 'Amru bin Aus dari Abdullah bin 'Amru, -dan Ibnu Numair dan Abu Bakar mengatakan sesuatu yang sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan dalam haditsnya Zuhair- dia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Orang-orang yang berlaku adil berada di sisi Allah di atas mimbar (panggung) yang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan Ar Rahman 'azza wajalla -sedangkan kedua tangan Allah adalah kanan semua-, yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam melaksanakan tugas yang di bebankan kepada mereka.” (H.R. Muslim No. 3406)
Sebaliknya para pemimpin yang tidak adil akan memperoleh kehancuran dan ketidaktertiban di dunia dan baginya siksa yang berat di akhirat kelak, apabila di dunia, ia luput dari siksaan-Nya.
Semua orang adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap kepemimpinannya, baik pemimpin negara, pemimpin keluarga, pemimpin rumah suami dan anak-anak, penggembala, dan siapa saja yang memiliki tanggung jawab, termasuk pemimpin dirinya sendiri. Semuanya akan diminta pertanggungjawabannya.
Cara Menjadi Pemimpin yang Bertanggung Jawab
Menjalankan amanah dengan baik
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ عَنْ الْحَسَنِ أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ زِيَادٍ عَادَ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ﴿ رواه البخاري ﴾
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Abul Asyhab dari Al Hasan, bahwasanya Abdullah bin Ziyad mengunjungi Ma'qil bin yasar ketika sakitnya yang menjadikan kematiannya, lantas Ma'qil mengatakan kepadanya; 'Saya sampaikan hadist kepadamu yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam, aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda; “Tidaklah seorang hamba yang Allah beri amanat kepemimpinan, namun dia tidak menindaklanjutinya dengan baik, selain tak bakalan mendapat bau surga.” (H.R. Bukhari No. 6617)
Selain dari hadits di atas, terdapat juga perintah untuk menyampaikan amanat di dalam al-Qur’an, yang berbunyi.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (٢٧)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (Q.S. Al-Anfal : 27)
Amanah berasal dari kata amina-ya’manu-amnaa-amanah yang berarti sesuatu yang harus ditepati atau titipan yang harus ditunaikan. Jadi amanah adalah mempercayakan suatu urusan kepada sesorang sehingga mereka yang memberikan amanah itu merasa aman dan nyaman. Dengan demikian seorang yang diberi amanah wajib hukumnya membuat aman dan nyaman mereka yang mempercayakan amanah itu kepadanya. Amanah yang diembankan kepada kita dalam bentuk apapun, baik harta, keluarga, jabatan, lebih sebagai tanggung jawab daripada nikmat. Amanah sebagai tanggung jawab akan membuat kita lebih berhati-hati terhadap segala sesuatu yang dipercayakan kepada kita. Karena kita sadar bahwa semuanya akan dimintakan pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah. Mereka yang menyadari bahwa jabatan, harta atau anak adalah amanah akan sangat hati-hati menerimanya. Abu Bakar Ash-Shiddik ketika menerima jabatan khalifah mengucapkan “Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un”, karena jabatan itu dianggapnya sebagai musibah.
Rasulullah S.A.W. bersabda, “Siapa yang diamanati Allah mengatur kepentingan kaum muslimin, (tetapi dia masa bodoh dari hajat kepentingan itu), maka Allah akan menolak hajat kepentingan dan kebutuhannya pada hari kiamat”. (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Salah satu contoh pemimpin yang amanah adalah Umar bin Abdul Aziz. Ia dikenal sebagai pemimpin yang amanah baik di pemerintahan dan keluarga. Dalam kisah dituliskan, pada suatu malam Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz sedang tekun bekerja di bilik istananya. Di tengah keseriusannya, beliau dikagetkan dengan kedatangan putranya yang ingin curhat. “Urusan kerajaankah? Atau urusan keluarga yang hendak kamu bincangkan?” tanya Amirul Mukminin. “Urusan keluarga, ayahanda,” jawab putranya. Mendengar itu, Amirul Mukminin segera menghampiri putranya. Sambil berjalan, dia memadamkan lampu yang terletak di mejanya yang digunakan untuk menerangi bilik kerjanya itu. Melihat sikap ayahnya itu, putranya justru merasa heran. “Kenapa ayah padamkan lampu itu?” tanya putranya. “Benar kata kau wahai anakku, tetapi kau harus ingat lampu yang sedang ayah gunakan untuk bekerja ini kepunyaan kerajaan. Minyak yang digunakan itu dibeli dengan menggunakan wang kerajaan, sedang perkara yang hendak anakanda perbincangkan dengan ayahanda adalah perkara keluarga,” jawab Amirul Mukminin. Lantas Umar bin Abdul Aziz meminta pembantunya membawa lampu dari bilik dalam. “Sekarang lampu yang baru kita nyalakan ini adalah kepunyaan keluarga kita, minyak pun kita beli dengan wang kita sendiri.”
Dalam pandangan islam, seorang pemimpin adalah orang yang diberi amanat oleh Allah SWT. untuk memimpin rakyat (amanahnya), yang di akhirat kelak akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah. Walaupun demikian, seorang pemimpin tersebut bisa saja meloloskan diri dari tanggung jawabnya, namun apabila ia ingat akan posisinya dan amanah yang diembannya serta memiliki iman yang kuat, maka tidak mungkin ia dapat meloloskan dirinya. Maka perteballah iman dan perluaslah ilmu kita, agar kita sebagai khalifah di muka bumi ini dapat menjalankan amanah yang Allah berikan sesuai dengan tempatnya.
Tidak menerima hadiah atau korupsi
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ عُرْوَةَ أَخْبَرَنَا أَبُو حُمَيْدٍ السَّاعِدِيُّ قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ بَنِي أَسْدٍ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتَبِيَّةِ عَلَى صَدَقَةٍ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سُفْيَانُ أَيْضًا فَصَعِدَ الْمِنْبَرَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ فَيَأْتِي يَقُولُ هَذَا لَكَ وَهَذَا لِي فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْتِي بِشَيْءٍ إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَيْ إِبْطَيْهِ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا قَالَ سُفْيَانُ قَصَّهُ عَلَيْنَا الزُّهْرِيُّ وَزَادَ هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ قَالَ سَمِعَ أُذُنَايَ وَأَبْصَرَتْهُ عَيْنِي وَسَلُوا زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ فَإِنَّهُ سَمِعَهُ مَعِي وَلَمْ يَقُلْ الزُّهْرِيُّ سَمِعَ أُذُنِي { خُوَارٌ } صَوْتٌ وَالْجُؤَارُ مِنْ { تَجْأَرُونَ } كَصَوْتِ الْبَقَرَةِ ﴿ رواه البخاري ﴾
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhri, ia mendengar 'Urwah telah mengabarkan kepada kami, Abu Humaid assa'idi mengtakan, Pernah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mempekerjakan seseorang dari bani Asad yang namanya Ibnul Utbiyah untuk menggalang dana sedekah. Orang itu datang sambil mengatakan; “Ini bagimu, dan ini hadiah bagiku.” Secara spontan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berdiri diatas minbar -sedang Sufyan mengatakan dengan redaksi; 'naik minbar-, beliau memuja dan memuji Allah kemudian bersabda; “ada apa dengan seorang amil zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan; ini untukmu dan ini hadiah untukku! Cabalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan cermatilah, apakah ia menerima hadiah ataukah tidak? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-NYA, tidaklah seorang amil zakat membawa sesuatu dari harta zakat, selain ia memikulnya pada hari kiamat diatas tengkuknya, jikalau unta, maka unta itu mendengus, dan jika sapi, ia melenguh, dan jika kambing, ia mengembik,” kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami melihat putih kedua ketiaknya seraya mengatakan: “ketahuilah, bukankah telah kusampaikan” (beliau mengulang-ulanginya tiga kali). Sedang Sufyan mengatakan; Az Zuhri telah mengisahkannya kepada kami, dan Hisyam menambahkan dari ayahnya dari Abu Humaid mengatakan; 'kedua telingaku mendengar dan mataku melihatnya, ' dan mereka menanyakan kepada Zaid bin Tsabit bahwasanya ia mendengarnya bersamaku, sedang Az Zuhri tidak mengatakan; 'telingaku mendengar lenguh'. (H.R. Bukhari No. 6639)
Rasulullah S.A.W. menjelaskan dalam sabdanya diatas, bahwa para petugas tidak boleh menerima hadiah dari siapapun. Hadiah yang diterima itu adalah haram dan merupakan pengkhianatan karena dia berkhianat terhadap kekuasaan yang diberikan kepadanya dan terhadap amanah yang diberikan kepadanya. Rasulullah S.A.W. menjelaskan dalam sabdanya ini, bahwa sebab haramnya hadiah atas petugas itu, yaitu sebab kekuasaan yang ada pada tangannya. Adapun memberi hadiah kepada sesama manusia (bukan karena jabatannya) adalah sangat dianjurkan.
Larangan korupsi juga terdapat di dalam al-Qur’an, sebagaimana termaktub dalam ayat berikut.
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١٨٨)
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.
(Q.S. Al-Baqarah 188)
An Nawawy berkata: “Sesuatu yang diterima oleh petugas dengan nama hadiah, haruslah dikembalikan kepada yang menghadiahkannya. Jika tidak mungkin dikembalikan lagi kepada yang menghadiahkannya, maka diserahkan kepada Baitul Mal”.
Tidak jarang kita menemukan pemimpin yang terjerat korupsi di negeri ini, kita sebagai publik hanya dapat menunggu dan melihat apa yang akan terjadi dengan banyaknya kasus korupsi yang terjadi tak akan membawa keuntungan dan kemaslahatan bagi rakyat. Justru hanya akan membuat rakyat semakin sengsara. Karena memang uang mereka yang seharusnya digunakan untuk upaya peningkatan kesejahteraan mereka harus masuk ke saku pribadi dan hanya untuk kepentingan pribadi atau golongan saja. Padahal para pelaku tindak korupsi ini sejatinya orang yang memegang amanah rakyat untuk dapat mengurusi segala urusan mereka.
Perlu kita sadari dan renungkan, apapun kegiatan dan pekerjaan kita, jangan sampai kita merugikan pihak lain dan jangan mengutamakan kepentingan pribadi dengan menyingkirkan rasa belas kasihan sehingga dengan sesuka hati kita bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Karena sekecil apapun perbuatan kita kelak akan dipintai pertanggungjawabannya.
Menjadi perisai bagi rakyatnya
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ عَنْ مُسْلِمٍ حَدَّثَنِى زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ حَدَّثَنِي وَرْقَاءُ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ ﴿ رواه مسلم ﴾
Telah menceritakan kepada kami Ibrahim dari Muslim telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Syababah telah menceritakan kepadaku Warqa' dari Abu Az Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Seorang imam itu ibarat perisai, seseorang berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya. Jika seorang imam (pemimpin) memerintahkan supaya takwa kepada Allah 'azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (imam) akan mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia (imam) memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa." (H.R. Muslim No. 3428)
Pemimpin adalah perisai rakyatnya, yakni sebagai pelindung, penjamin, dan pelaksana pemenuhan hak-hak rakyatnya. Jika terdapat suatu konflik, pemimpin harus berada di posisi terdepan, jangan sampai menyuruh bawahannya untuk mengatasi konflik sementara ia sendiri bersembunyi dan enggan berkutik. Karena pemimpin merupakan perisai bagi rakyatnya, maka pemimpin harus memiliki jiwa pemberani dan tidak ada sedikit pun kekhawatiran (ketakutan) dalam hatinya, ia yakin Allah selalu bersamanya. Sebagaimana termaktub dalam ayat berikut.
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (٦٢)
Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S. Yunus: 62)
Rasulullah adalah sosok pemimpin yang sempurna dan mampu menjadi perisai bagi ummatnya. Ali r.a. berkata, “Apabila kondisi mencekam dan mata memerah, kami berlindung kepada Rasulullah. Tak ada seorang pun yang lebih dekat dengan musuh darinya. Perang Badar telah memperlihatkan kepadaku, ketika kami berlindung kepada Rasulullah, sementara beliau yang paling dekat dengan musuh”.
Dengan memahami teks di atas, maka hendaknya seorang pemimpin menjadi perisai bagi kaumnya. Pemimpin haruslah dapat menjadi perisai yang baik dan kuat, sehingga kaum dapat terlindungi dari berbagai marabahaya.
Mendamaikan perpecahan yang terjadi di antara ummat
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ حَدَّثَنَا أَبُو حَازِمٍ الْمَدَنِيُّ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ كَانَ قِتَالٌ بَيْنَ بَنِي عَمْرٍو فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَتَاهُمْ يُصْلِحُ بَيْنَهُمْ…. ﴿ رواه البخاري ﴾
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'man telah menceritakan kepada kami Hammad telah menceritakan kepada kami Abu Hazim Al Madani dari Sahal bin Sa'd As Sa'idi mengatakan; ketika terjadi peperangan antara bani 'Amru, berita ini sampai kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam, maka beliau shalat zhuhur kemudian mendatangi mereka untuk mendamaikan sesama mereka…. (H.R. Bukhari No. 6653)
Pemimpin haruslah peka terhadap keadaan rakyatnya, jika terjadi perpecahan maka wajiblah dia mengatasinya sedini mungkin, sebab jika disintegritas dibiarkan, ia akan menyebabkan suatu permasalahan besar sehingga timbul perpecahan yang akan mengancam keutuhan kesatuan-persatuan bangsa. Bagaimana mungkin suatu negara maju, jika diantara rakyatnya tidak tertanam rasa persatuan dan kesatuan?
Rasulullah S.A.W. memberikan contoh yang tepat dalam mengatasi permasalahan. Ketika terdapat suatu permasalahan maka Rasulullah segera bertindak cepat dan tepat. Bahkan Rasulullah dapat mencegah permasalahan sedini mungkin. Hal ini diperlukan agar dapat menjadi pemimpin yang amanah. Dan untuk mewujudkannya diperlukan kebijaksanaan, ketegasan, dan mampu memprediksi secara tepat.
Adil terhadap semua golongan
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي خُبَيْبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ تَعَالَى فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَدْلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ ﴿ رواه البخاري ﴾
Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yahya dari 'Ubaidullah berkata, telah menceritakan kepada saya Khubaib bin 'Abdurrahman dari Hafsh bin 'Ashim dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: “Ada tujuh (golongan orang beriman) yang akan mendapat naungan (perlindungan) dari Allah dibawah naunganNya (pada hari qiyamat) yang ketika tidak ada naungan kecuali naunganNya. Yaitu; Pemimpin yang adil, seorang pemuda yang menyibukkan dirinya dengan 'ibadah kepada Rabnya, seorang laki-laki yang hatinya terpaut dengan masjid, dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah, keduanya bertemu karena Allah dan berpisah karena Allah, seorang laki-laki yang diajak berbuat maksiat oleh seorang wanita kaya lagi cantik lalu dia berkata, “aku takut kepada Allah”, seorang yang bersedekah dengan menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfaqkan oleh tangan kanannya, dan seorang laki-laki yang berdzikir kepada Allah dengan mengasingkan diri sendirian hingga kedua matanya basah karena menangis". (H.R. Bukhari No. 1334)
Berdasarkan hadits di atas, keutamaan pemimpin yang adil disebutkan terlebih dahulu, karena banyaknya kebaikan dan kemaslahatan yang terkait dengannya. Di dalam al-Quran terdapat banyak perintah untuk berbuat adil, salah satunya di dalam ayat berikut.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ ﴿ النحل: ٩٠ ﴾
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan (Q.S. an-Nahl: 90)
Adil bukan berarti menyetarakan semua hal, namun menempatkan sesuatu hal sesuai pada tempatnya. Adapun untuk melihat sejauh mana seorang pemimpin itu berlaku adil adalah dengan mencermati berbagai keputusan dan kebijakan yang dikeluarkannya. Bila seorang pemimpin menerapkan hukum tanpa pandang bulu, secara merata terhadap semua golongan, maka dapat dikatakanlah seorang pemimpin tersebut adil.
Tidak bersikap birokratis
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي بَيْتِي هَذَا اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ حَرْمَلَةَ الْمِصْرِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ ﴿ رواه مسلم ﴾
Aisyah r.a berkata : saya telah mendengar Rasulullah berdo'a ketika berada di rumahku ini: "Ya Allah, siapa yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan ummatku lalu dia mempersulit urusan mereka, maka persulitlah dia. Dan siapa yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan ummatku lalu dia berusaha menolong mereka, maka tolong pulalah dia." Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Hatim telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdi telah menceritakan kepada kami Jarir bin Hazim dari Harmalah Al Mishri dari Abdurrahman bin Syimasaah dari 'Aisyah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seperti hadits di atas." (H.R. Muslim No. 3407)
Hadits ini menerangkan tentang larangan seorang pemimpin untuk bersikap arogan, elitis, represif dan birokratis atau mempersulit urusan-urusan rakyatnya. Seorang pemimpin harus memberikan pelayanan yang maksimal. Bila seorang pemimpin mempersulit urusan rakyatnya, maka niscaya Allah akan mempersulit segala urusan dia baik di dunia lebih-lebih di akhirat nanti.
Batas Ketaatan kepada Pemimpin
Menaati pemerintah selama tidak menyuruh kemungkaran
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩)
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An-Nisaa: 59)
Berdasarkan arti dari konteks ayat al-Quran di atas, wajib hukumnya seorang rakyat menaati pemimpin (Ulil Amri). Namun tidak selamanya rakyat harus patuh kepada ulil amri, rakyat boleh tidak patuh terhadap pemimpin jika pemimpinnya dzalim. Rasulullah saw. bersabda
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ ﴿ رواه البخاري ﴾
Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari 'Ubaidullah Telah menceritakan kepadaku Nafi' dari Abdullah radliallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "mendengar dan taat adalah wajib bagi setiap muslim, baik yang ia sukai maupun yang tidak ia sukai, selama ia tidak diperintahkan melakukan kemaksiatan, adapun jika ia diperintahkan melakukan maksiat, maka tidak ada hak mendengar dan menaati." (H.R. Bukhari No.6611)
Hadits di atas menunjukkan kepada kita bahwa kepatuhan seorang rakyat terhadap pemimpin tidaklah mutlak. Ada batasan-batasan tertentu, kapan saat rakyat patuh dan kapan saat rakyat boleh tidak patuh. Adapun maksiat yang dimaksud dalam hadits ini adalah bentuk pendurhakaan atau pembangkangan kepada Allah. Oleh karena itu, jika kita menjadi rakyat, maka haruslah cerdas dan mengetahui ilmu-ilmu yang luas, sebab, bilamana penguasa berbuat maksiat (dzalim), maka kita dapat menghindar untuk ikut terjerumus kedalam kemaksiatan tersebut.
Larangan OPORTUNIS
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ أُنَاسٌ لِابْنِ عُمَرَ إِنَّا نَدْخُلُ عَلَى سُلْطَانِنَا فَنَقُولُ لَهُمْ خِلَافَ مَا نَتَكَلَّمُ إِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِهِمْ قَالَ كُنَّا نَعُدُّهَا نِفَاقًا ﴿ رواه البخاري ﴾
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami 'Ashim bin Muhammad bin Zaid bin Abdullah bin Umar dari ayahnya, Beberapa orang berkata kepada Ibnu Umar; 'dahulu jika kami menemui penguasa kami, kami mengatakan sesuatu yang menyelisihi pembicaraan kami ketika kami telah meninggalkannya.' Maka Ibnu Umar berkata; "yang demikian kami anggap suatu kemunafikan." (H.R. Bukhari No. 6642)
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ عِرَاكٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ شَرَّ النَّاسِ ذُو الْوَجْهَيْنِ الَّذِي يَأْتِي هَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ وَهَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ ﴿ رواه البخاري ﴾
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Yazid bin Abu Hubaib dari Irak dari Abu Hurairah, ia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Manusia yang paling buruk adalah yang bermuka dua (OPORTUNIS), yang mendatangi kaum dengan muka tertentu dan mendatangi lainnya dengan muka yang lain." (H.R. Bukhari No. 6643)
Rasulullah menjelaskan bahwa rakyat yang ingin menemui penguasa dalam rangka memuliakannya maka senantiasa dia mendapat jaminan dari Allah swt. namun ketika di belakang penguasa tersebut, dia menghinanya, maka ia adalah OPORTUNIS (bermuka dua). Hal ini sangat di larang oleh agama, bagaimana pun, orang yang bermuka dua atau munafik, lebih buruk daripada orang kafir. Seperti di dalam sejarah, beberapa perang islam jika terdapat orang munafik yang terdapat dalam suatu pasukan, maka hancurlah pasukan tersebut dikarenakan hasutan orang munafik. Perbuatan orang munafik sangatlah membahayakan ummat, terlebih-lebih penguasa. Oleh karena itu, jadilah rakyat yang jujur, yang bersikap sama ketika berhadapan dengan pemimpinnya ataupun ketika tidak berhadapan dengannya.
Melawan pemimpin yang dzalim
حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ دِينَارٍ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُصْعَبٍ أَبُو يَزِيدَ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُحَادَةَ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْجِهَادِ كَلِمَةَ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي أُمَامَةَ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ ﴿ رواه الترمذى ﴾
Telah menceritakan kepada kami Al Qasim bin Dinar Al Kufi; telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin Mush'ab Abu Yazid; telah menceritakan kepada kami Isra'il dari Muhammad bin Juhadah dari 'Athiyyah dari Abu Sa'id Al Khudri bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda; "Sesungguhnya jihad yang paling agung adalah ungkapan yang adil (benar) yang disampaikan di hadapan penguasa yang zhalim." Abu Isa berkata; Hadits semakna juga diriwayatkan dari Abu Umamah. Dan ini adalah hadits hasan gharib ditinjau dari jalur ini. )H.R Tirmidzi No.2100)
Salah satu bentuk jihad adalah ungkapan seorang rakyat yang benar di hadapan pemimpin yang dzalim. Ia berusaha untuk memperjuangkan nasib rakyat, dan menyadarkan pemimpin yang dzalim. Untuk melakukan hal ini, diperlukan keberanian yang besar dan tidak lupa argumen kuat yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kriteria Pemimpin
Kriteria yang boleh dijadikan seorang pemimpin
Dalam Islam istilah pemimpin disebut dengan berbagai macam istilah, seperti: Imam, Wali, Ulil Amri, Amirul mu’minin, Amir, Khalifah dan Ro’i dsb. Adapun syarat-syarat seorang itu dapat disebut sebagai pemimpin dalam Islam, sebagai berikut.
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ (٥٥)
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). (Q.S. Al-Maidah: 55)
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (٦٢)
Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S. Yunus: 62)
قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (٢٤٧)
"Sesungguhnya Allah telah memilih Thalut menjadi pemimpinmu (malik) dan menganugerahinya rajamu ilmu yang luas dan tubuh yang kuat." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah : 247)
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (٥٨)
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. (Q.S. An-Nisa: 58)
Dari keempat ayat di atas jelaslah bagi kita persyaratan seorang boleh diangkat menjadi pemimpin adalah sebagai berikut:
Beriman dalam artian beragama islam. Karena bagaimana pun juga islam adalah agama yang merupakan rahmatan lil ‘alamin, buka hanya sekedar rahmat yang meliputi orang islam. Sehingga patutlah kita memilih orang yang beriman sebagai pemimpin. Karena seorang pemimpin yang muslim mengerti cara memimpin yang baik, baik terhadap rakyatnya yang muslim dan yang non muslim, sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah SAW.
Menegakkan shalat dalam artian menegakkan shalat seperti yang dicontohkan Rasulullah. Seperti shalat berjamaah ke masjid, shalat awal waktu, bersih hati dan fisik serta mengikuti rukun-rukunnya, etrmasuk kekhusyu’annya.
Menunaikan zakat yang merupakan lambang mengasihi sesama.
Senantiasa tawadhu sehingga tahan dan mau mendengarkan kritik dan saran.
Tidak penakut, baik kepada syetan, takut masalah (perihal) duniawi, takut miskin sehingga korupsi, dsb.
Tahan dan tegar ketika dihadapi berbagai ujian, baik berupa kesenangan maupun kesengsaraan hidup.
Berilmu luas, dengan demikia keputusan dan tindakan yang diambilnya bersifat adil, luwes dan bijaksana.
Fisiknya kuat, sehingga memungkinkan dia dapat menjalankan tugasya dengan sebaik-baiknya sehingga dapat menjadi suri teladan bagi ummatnya dan bawahannya.
Ahli dan memang berbakat untuk jabatannya, sehingga setiap permasalahnan dapat diatasi dengan baik.
Amanah, dalam pengertian mau menjalankan tugas yang diembankan kepadanya dengan sekuat kemapuannya.
Adil dalam menetapkan segala sesuatu (hukum) di antara manusia. Sekalipun merugikan diri sendiri dia tidak khawatir kalau memang harus demikian.
Sebelas pernyataan di atas, haruslah dipenuhi oleh seorang yang ingin atau diamanahi menjadi pemimpin. Bagaimana pun aturan yang dibuat oleh pemerintah, rakyat haruslah menaatinya, terkecuali dalam hal kemungkaran.
Kriteria yang tidak boleh dijadikan pemimpin
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (٥١)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Q.S. Al-Maidah: 51)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الإيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (٢٣)
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. (Q.S. At-Taubah: 23)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (٥٧)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil Jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu Jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. (Q.S. Al-maidah:57)
لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ (٢٨)
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu). (Q.S. Ali Imran: 28)
وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً فَلا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَاءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَلا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلا نَصِيرًا (٨٩)
Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong, (Q.S. An-Nisa: 89)
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلا (٥٠)
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam, Maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, Maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil Dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang-orang yang zalim. (Q.S. Al-Kahfi: 50)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنْتُمْ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ (١)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; Padahal Sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. dan Barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, Maka Sesungguhnya Dia telah tersesat dari jalan yang lurus. (Q.S. Al-Mumtahanah: 1)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ بُرَيْدٍ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلَانِ مِنْ قَوْمِي فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ أَمِّرْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَقَالَ الْآخَرُ مِثْلَهُ فَقَالَ إِنَّا لَا نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلَا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ ﴿ رواه البخاري ﴾
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al 'Ala' telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Buraid dari Abu Burdah dari Abu Musa radliallahu 'anhu mengatakan; aku menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersama dua orang kaumku, lantas satu diantara kedua orang itu mengatakan; 'Jadikanlah kami pejabat ya Rasulullah? ' orang kedua juga mengatakan yang sama. Secara spontan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda; "Kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada orang yang memintanya, tidak juga kepada orang yang ambisi terhadapnya." (H.R. Bukhari No. 6616)
Berdasarkan beberapa ayat al-Quran dan sebuah hadits di atas, penulis menyimpulkan bahwa seseorang yang dilarang atau tidak layak untuk dijadikan pemimpin, diantaranya.
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak boleh dijadikan pemimpin. Sebab, Barangsiapa yang mengambil mereka menjadi pemimpin, maka akan termasuk golongan mereka. Seorang pemimpin haruslah beragama islam (mu’min).
Seseorang yang mengutamakan kekafiran daripada keimanan tidak boleh dijadikan sebagai seorang pemimpin. Sekalipun itu saudara kita sendiri.
Pemimpin yang kafir dan merupakan budak syetan tidak boleh dijadikan sebagai seorang pemimpin. Karena, tidaklah selayaknya orang-orang beriman mengikuti suatu pemimpin yang mengikuti (tabiat) syetan.
Pemimpin yang dzalim.
Musuh-musuh Allah swt.
Ambisi terhadap jabatan dan kekuasaan. (meminta jabatan tersebut)
Berikut alasan yang paling jelas, mengapa umat islam tidak boleh menjadikan orang kafir sebagai pemimpin.
الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا (١٣٩)
(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka Sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. (Q.S. An-Nisa : 139)
Setelah memahami beberapa kriteria manusia yang tidak boleh dijadikan pemimpin, membuat kita lebih hati-hati dalam mengangkat atau menentukan pemimpin. Karena pemimpin yang dzalim adalah cerminan dari rakyat yang dzalim pula, yang mana pemimpin yang dzalim tersebut terkadang dipilih dengan cara yang dzalim (suap-menyuap atau curang). Na’udzubillahi mindzalik.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Pengertian tanggung jawab kepemimpinan
Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (dalam artian jika terjadi sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dsb). [KBBI]
Secara etimologi kepemimpinan (imamah) berasal dari kata اَمَّ - يَؤُمُّ - اِمَامًا -اِمَامَةً (memimpin, pemimpin, dan kepemimpinan). Secara terminologi imamah sebagaimana dikemukakan al-Mawardi “Imamah ialah suatu kedudukan atau jabatan yang diadakan untuk mengganti tugas kenabian dalam memelihara agama dan mengendalikan dunia”.
Tanggung jawab kepemimpinan adalah sikap dari suatu imam atau pemimpin yang menyadari berbagai tugas dan amanah yang diembannya, sehingga ia melaksanakan berbagai kewajiban serta berorientasi menjaga dan memberikan kemaslahatan umat di dunia dan di akhirat.
Setiap manusia adalah pemimpin, dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang memimpin manusia akan bertanggung jawab atas rakyatnya, seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, dan dia bertanggung jawab atas mereka semua, seorang wanita juga pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia bertanggung jawab atas mereka semua, seorang budak adalah pemimpin atas harta tuannya, dan dia bertanggung jawab atas harta tersebut. Setiap manusia adalah pemimpin dan akan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Oleh karena itulah, tanggung jawab kepemimpinan penting untuk dibahas.
Kriteria seorang pemimpin:
Beriman dalam artian beragama islam. Karena bagaimana pun juga islam adalah agama yang merupakan rahmatan lil ‘alamin, buka hanya sekedar rahmat yang meliputi orang islam. Sehingga patutlah kita memilih orang yang beriman sebagai pemimpin. Karena seorang pemimpin yang muslim mengerti cara memimpin yang baik, baik terhadap rakyatnya yang muslim dan yang non muslim, sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah SAW.
Menegakkan shalat dalam artian menegakkan shalat seperti yang dicontohkan Rasulullah. Seperti shalat berjamaah ke masjid, shalat awal waktu, bersih hati dan fisik serta mengikuti rukun-rukunnya, etrmasuk kekhusyu’annya.
Tidak penakut, baik kepada syetan, takut masalah (perihal) duniawi, takut miskin sehingga korupsi, dsb.
Tahan dan tegar ketika dihadapi berbagai ujian, baik berupa kesenangan maupun kesengsaraan hidup.
Berilmu luas, dengan demikia keputusan dan tindakan yang diambilnya bersifat adil, luwes dan bijaksana.
Ahli dan memang berbakat untuk jabatannya, sehingga setiap permasalahnan dapat diatasi dengan baik.
Amanah, dalam pengertian mau menjalankan tugas yang diembankan kepadanya dengan sekuat kemapuannya.
Adil dalam menetapkan segala sesuatu (hukum) di antara manusia. Sekalipun merugikan diri sendiri, dia tidak khawatir kalau memang harus demikian
Saran
Setelah membaca makalah tanggung jawab kepemimpinan, diharapkan pembaca yang budiman dapat merenungkannya dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat lebih bermanfaat.
Demikian paparan mengenai tanggung jawab kepemimpinan yang dapat penulis paparkan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan dan terdapat kata-kata yang tidak berkenan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari. 2011. Ensiklopedia Hadits 1; Shahih al-Bukhari 1. Diterjemahkan oleh Masyhar dan Muhammad Suhadi. Jakarta Timur: Almahira
_______. 2012. Ensiklopedia Hadits 2; Shahih al-Bukhari 2. Diterjemahkan oleh Subhan Abdullah dkk. Jakarta Timur: Almahira
Ahmad Muhammad Yusuf. 2009. Ensiklopedi Tematis Ayat al-Qur’an dan Hadits. Jakarta: Widya Cahaya
Ahmad Ratib Armush. 2005. Qiyadah al-Rasulullah; wa al-‘Askariyah. Diterjemahkan oleh Ahmad Khotib. Jakarta: Bening Publishing
Ash Shiddieqy Hasby. 2002 Mutiara Hadits jilid ke enam. Jakarta: Bulan Bintang
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya
Inu Kencana Syafiie. 2013. Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Bumi Aksara
Rachmat Syafe’i. 2000. Al-Hadis (Aqidah, Akhlaq, Sosial, dan Hukum). Bandung: Pustaka Setia
Tim Darul Ilmi. 2010. Buku Panduan Agama Islam. Jakarta: QultumMedia
Tim Pustaka Phoenix. 2009. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Media Pustaka Phoenix
Utsman As-Salam. 2008. Dengar dan Taati Pemerintah Kalian. Bandung: Akmal Press
Yan Orgianus. 2011. Nilai-nilai Islam dalam Kepemimpinan. Bandung: CV Cipta Dea Pustaka
Zaki Al-Din ‘Abd Al-Azhim Al-Mundziri. 2009. Ringkasan Shahih Muslim. Diterjemahkan oleh Syinqithy Djamaluddin dan H.M. Mochtar Zoemi. Bandung: PT Mizan Pustaka
Internet
https://islamiclogic.wordpress.com/kumpulan-hadits-shahih/40-hadits-tentang-pemimpin-dan-penjelasannya/. Diakses pada tanggal 16 Maret 2016 pada pukul 17:36 WIB
http://www.anneahira.com/contoh-korupsi.htm diakses pada tanggal 4 Mei 2016 pada pukul 14.20
http://www.merdeka.com/ramadan/inilah-umar-bin-abdul-aziz-sosok-pemimpin-amanah.html diakses tanggal 5 Mei 2016 pukul 13.39
http://zaysscrmeemo.blogspot.co.id/2012/06/pengertian-tanggungjawab.html?=1. Diakses tanggal 16 Maret 2016 jam 12.01 WIB. Social Edition. Zainuddin al-Farisi
Komentar